Sindroma Rasmussen mulai terlihat sejak Cameron berusia tiga tahun. Penyakit langka ini meluas dan mematikan fungsi otak kanannya. Akibatnya, kejang-kejang dan gejala epilepsi hebat menghiasi hari-hari gadis kecil ini.
"Sangat menakutkan, karena sebagai orangtua Anda tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada anak Anda setelah operasi otak yang dramatis," kata sang ibu, Shelly Mott, seperti dikutip dari laman Mailonline.
Atas persetujuan keluarga, Cameron menjalani bedah kepala untuk pengangkatan otak kanannya. Tindakan berisiko tinggi dengan harapan hidup yang sangat tipis itu harus ditempuh demi menghentikan kejang-kejang dan epilepsi hebat yang selalu menderanya setiap waktu.
Sejak awal dokter telah mengatakan, seandainya Cameron lolos dari maut, kemungkinan besar akan mengalami koma dan lumpuh pada sisi kiri tubuhnya. Sebab, otak kanan adalah organ pengontrol tubuh bagian kiri.
Namun ajaib, ketakutan-ketakutan itu tak terjadi. Usai operasi dan menjalani fisioterapi, Cameron dapat berlari, dan bermain, kendati sedikit pincang dan kehilangan penglihatan tepi. Ia hanya menjalani perawatan di rumah sakit selama empat minggu.
Adakah ia merasakan efek operasi? Cameron menjawab, "Tidak terasa sama sekali." Cameron mengaku tetap mengejar impiannya. "Saya akan menjadi seorang balerina saat besar nanti."
Tulisan ini sengaja saya crop dari vivanews.com, sebagai bentuk motivasi untuk saya sendiri dan mungkin juga untuk anda. Bagaimana anak sekecil cameron yang telah kehilangan otak kanan masih punya mimpi menjadi seorang balerina. Lagi-lagi cerita jangan takut untuk bermimpi,jika dengan bermimpi dapat membuat anda lebih hidup kenapa tidak. caiyoo...
0 komentar:
Posting Komentar